OPINI DAN ARGUMEN
Opini adalah sebuah kesimpulan yang berbentuk sebuah klaim. Secara logis, opiniharus ditopang oleh argumen. Argumen adalah serangkaian premis (istilah sederhananya: alasan-alasan) yang menunjang atau mendasari sebuah opini atau sebuah kesimpulan. Sebuah opini (atau klaim konklusif) yang baik (bernas) mestinya atau seharusnyadidasarkan atas argumen-argumen. Tanpa argumen, sebuah opini tidak memiliki kekuatan logis untuk diterima atau dipertimbangkan kebenarannya! (dua paragraf ini adalah ringkasan dari dua tulisan saya sebelumnya: di sini dan di sini).Tetapi sebuah argumen yang mendasari sebuah opini dapat saja merupakan argumen yang cacat (fallacious). Maka, berbicara mengenai opini yang baik atau bernas seharusnya didahului dengan pembicaraan mengenai argumen yang baik.
Saya sudah menulis sebuah artikel berisi lima kriteria penentu argumen yang baik, yaitu: a) kriteria relevansi - premis-premisnya relevan dalam menunjang konklusinya; b) kriteria akseptabilitas - premis-premisnya dapat diterima secara rasional; c) kriteria kecukupan - premis-premisnya cukup untuk menunjang opini atau kesimpulannya; d) kriteria sangkalan - premis-premisnya memiliki kekuatan untuk mengantisipasi berbagai bentuk sanggahan terhadapnya; dan e) kriteria struktur - argumennya tersusun dalam bentuk deduktif, induktif, atau abduktif (baca selengkapnya di sini). Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa opini yang baik adalah opini yang ditopang atau dilandasi oleh argumen yang baik. Dan seperti yang terlihat pada kriteria-kriteria argumen yang baik di atas, salah satunya adalah penggunaan struktur atau bentuk argumen yang sah. Di sini saya hanya akan fokus memperkenalkan kepada Anda sekelumit mengenai argumen abduktif.
Sekelumit mengenai argumen abduktif
Secara historis, abduksi dapat dianggap berakar pada tulisan Aristoteles yang menyebutnya apagoge (Aristoteles menggunakan sebutan epagoge untuk penalaran deduktif). Jenis argumen ini bagi Aristoteles merupakan argumen semi-deduktif yang kesimpulannya bukanlah sesuatu yang pasti (berbeda dengan argumen deduktif yang mengasumsikan kepastian!). Di akhir abad ke-19, seorang saintis asal Prancis bernama P.S. Laplace menerapkan jenis penalaran ini dalam bidang sains. Lalu, pada abad modern, seorang filsuf Pragmatis bernama C.S. Pierce menggunakan istilah abduksi untuk jenis penalaran ini hingga sekarang kita menyebutnya demikian. Abduksi adalah sebuah proses penalaran guna menjelaskan sebuah fenomena yang membingungkan atau tidak jelas atau rumit atau kompleks. Penalaran abduktif dilakukan dengan berangkat dari fakta-fakta atau potongan-potongan fakta, menuju sebuah penjelasan yang masuk akal terhadap fakta-fakta tersebut (the best explanation). Beberapa contoh di bawah ini akan memperjelas bagaimana proses penalaran abduktif itu dilakukan, bahkan dalam pengalaman keseharian kita termasuk juga dalam berbagai bidang keilmuan:
- Menjelaskan sebuah fenomena dengan sejumlah fakta sederhana. Anda bangun di pagi hari lalu mendapati rerumputan di halaman rumah Anda basah. Berangkat dari fakta sederhana ini, Anda berhipotesis bahwa telah turun hujan semalam.
- Menjelaskan hubungan kausal antar fakta-fakta. Sebelum tidur, Anda melihat langit mendung sekali. Anda mengetahui bahwa biasanya cuaca begitu akan diikuti oleh hujan. Keesokan harinya Anda mendapati rerumputan di halaman rumah Anda basah. Maka, Anda menghubungkan cuaca semalam dengan rerumputan yang basah. Berangkat dari hubungan kausal antarfakta ini, Anda menyimpulkan bahwa turunnya hujan merupakan the best explanation untuk fenomena rerumputan yang basah di pekarangan Anda.
- Menjelaskan sebuah kontradiksi. Secara natural, Anda mengetahui bahwa turunnya hujan menyebabkan rerumputan di pekarangan Anda basah. Dan memang telah turun hujan. Tetapi, Anda mendapati bahwa rerumputan tersebut tidak basah (seharusnya basah karena telah turun hujan). Bagaimana Anda menjelaskan kontradiksi-empiris ini?
- Melakukan diagnosis medis. Ketika seorang dokter mendapati sebuah simptom pada pasiennya, ia kemudian berhipotesis mengenai sejumlah penyebabnya atas dasar pengetahuannya mengenai hubungan kausal antara penyakit dan simptom.
- Memberikan penjelasan saintifik. Penemuan Johannes Keppler bahwa orbit planet-planet berlangsung secara elipsis bukan sirkular. Penemuan ini sebenarnya dihasilkan dengan menggunakan penalaran abduktif ketika ia mendapati bahwa planet Mars cocok dengan pola elipsis itu.
- Menjelaskan fenomena yang kacau. Anda pulang ke rumah tengah malam. Anda tahu persis bahwa lampu di teras rumah Anda harusnya menyala karena sebelum Anda ingat betul bahwa berangkat Anda telah menyalakannya. Sebelum tiba di rumah Anda diguyur hujan lebat. Melihat fenomena mati lampu itu, salah satu kemungkinan yang terlintas di benak Anda adalah listrik padam. Tetapi, tidak mungkin begitu karena lampu-lampu di ruangan dalam menyala. Maka Anda menyimpulkan, bola lampu tersebut putus.
Jadi, penalaran abduktif dilakukan untuk mencari penjelasan terbaik (the best explenation) di antara sejumlah kemungkinan penjelasan atas sebuah fenomena yang hanya mengandung sejumlah potongan fakta yang tak lengkap. Itulah sebabnya, argumen abduktif disebut juga argumen eksplanatori (explanatory argument).
Berabduksi dalam opini politik
Kita semua tahu bahwa dunia politik itu adalah sebuah dunia yang cair, fleksibel, dan sangat tidak pasti. Kenyataan ini sering menimbulkan kebingungan-kebingungan dalam kaitan dengan kebijakan-kebijakan, manuver-manuver, motif-motif, serta kekisruhan-kekisruhan yang sulit dipastikan apa, mengapa, bagaimana, siapa, di mana, dan kapan.
Di samping fakta di atas mestinya merupakan kesulitan sekaligus tantangan, kita justru tertolong untuk beropini dengan memanfaatkan penalaran abduktif yang memang sangat cocok untuk situasi-situasi seperti ini seperti yang terlihat dari beragam contoh sederhana di atas.
Misalnya, ketidakpastian mengenai pelantikan atau pembatalan BG sebagai kapolri. Di sini kita berhadapan dengan dua kemungkinan. Jokowi akan melantik BG karena tekanan dari sejumlah pihak, atau Jokowi akan membatalkan pelantikan tersebut. Dari kedua kemungkinan ini, kemudian kita melihat kepada fakta-fakta yang mendukung kedua kemungkinan tersebut:
- Jokowi berkomitmen memberantas korupsi. Fakta ini mengimplikasikan bahwa Jokowi akan lebih memilih tidak melantik BG.
- Jokowi juga mempertimbangkan suara rakyat yang menolak BG karena terkait kasus rekening gendut.
- Tetapi, Jokowi berhadapan dengan tekanan-tekanan politik yang menuntutnya melantik BG. Dan tekanan-tekanan itu memiliki konsekuensi-konsekuensi politis bagi Jokowi.
Berangkat dari sejumlah fakta sederhana di atas, kita kemudian menarik kesimpulan bahwa pembatalan pelantikan BG merupakan keputusan yang sangat mungkin akan dilakukan Jokowi setelah ia memaklumatkan penundaan pelantikan BG beberapa waktu lalu. Ini adalah penjelasan terbaik untuk masa vakum ini karena kita mengasumsikan bahwa Jokowi tidak akan mengorbankan komitmen pemberantasan korupsi sekaligus tidak akan mengabaikan suara mayoritas rakyat yang menolak BG.
Setelah menetapkan penjelasan terbaik untuk situasi di atas, kita berhadapan lagi dengan isu baru yang menuntut penjelasan, yaitu bagaimana Jokowi menangani tekanan-tekanan dari sejumlah pihak yang bersikeras BG harus dilantik berikut konsekuensi-konsekuensinya?
Untuk menjawab isu ini, Anda harus mengadakan observasi mengenai fakta-fakta yang relevan, dengan menerapkan dua syarat penting dalam penulisan opini penting, yaitu kemampuan untuk menyeleksi mana fakta-fakta yang terkategorisyarat perlu (necessary conditions) dan fakta-fakta yang terkategori syarat cukup(sufficient conditions).
Hidangan opini politik yang bergizi
Memperkenalkan jenis penalaran ini merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi saya karena keterbatasan space. Bukan tantangan mengenai apa yang perlu ditulis di sini, melainkan apa yang tidak perlu ditulis di sini. Itu berarti, perlu upaya lanjutan dari Anda untuk mengejar pemahaman yang lebih detail mengenai penalaran abduktif itu sendiri. Karena artikel ini hanya memberikan perkenalan ringkas serta sesederhana yang dapat saya lakukan sambil menstimulasi ketertarikan Anda untuk mengetahui dan mengenal jenis penalaran ini lebih jauh.
Akhirnya ingat satu hal penting. Penalaran abduktif memang bertujuan menghasilkan penjelasan terbaik terhadap sebuah fenomena. Tetapi ingat bahwa ada anomali-anomali yang mungkin saja muncul sehingga kita perlu bersedia terbuka terhadap revisi atau bahkan eliminasi total terhadap opini sebelumnya yang sudah kita kemukakan. Bagi saya ini tidak harus dianggap kelemahan. Ini dapat dianggap sebagai sebuah dinamika yang penuh tantangan bagi kita untuk terus melatih diri kita berpikir kritis terhadap fenomena-fenomena politik sekaligus diri kita sendiri!
Selamat mengejar dan semoga tangkapan Anda berwujud dalam menu opini politik yang bergizi, bernas, dan layak dipertimbangkan oleh publik!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar